Resiliensi Negara dan Kerja Sama Internasional Hadapi Pandemi

 


Jakarta -Mengapa arus globalisasi yang sama melahirkan dampak pada negara-negara secara berbeda-beda? Sejumlah negara mendapatkan manfaat luar biasa dengan adanya ekspansi teknologi dan perdagangan bebas. Namun, tidak sedikit pula negara yang menderita karena globalisasi dan eksploitasi sumber daya. Pertanyaan yang sama, mengapa pandemi Covid-19 yang sama menimbulkan efek yang berbeda di antara negara-negara?


Korea Selatan, misalnya, telah menginisiasi tes Covid-19 secara besar-besaran demi melacak titik persebarannya. Pelacakan secara agresif ini juga memanfaatkan metode surveillance dan mengadvokasi publik agar melakukan tes secara mandiri pada fasilitas kesehatan. Metode ini kemudian diikuti oleh banyak negara.


Di belahan dunia yang lain, sebelum terjadinya pandemi Covid-19, krisis di Venezuela menunjukkan statistik yang mengkhawatirkan bahwa sekitar 5,000 jiwa meninggal dalam rentang waktu 2017-2019 akibat kelangkaan suplai medis (OAS, 2019). Hal itu menjadikan Venezuela sebagai negara yang amat rentan terhadap pandemi ini. Termasuk juga di Congo, wabah ebola yang belum teratasi sepenuhnya sejak 2019 harus diperparah lagi oleh pandemi Covid-19.


Dalam pembacaan Yudi Latif (2020), daya resiliensi dan keunggulan suatu negara sangat mempengaruhi performa dalam menghadapi fenomena tersebut. Daya resiliensi itu tergantung pada cara negara memadukan dan mengembangkan (i) pendidikan-ilmu pengetahuan, (ii) politik-kebijakan, dan (iii) ekonomi-produksi. Lebih krusial lagi, pengembangan itu harus tegak lurus dengan implementasi prinsip sustainability bersama.


Sebagai contoh, New Zealand mampu mengefisiensi kerja sama antara institusi pendidikan, sektor bisnis, dan keputusan politik dengan menerapkan strategi "eliminasi": sebuah pembatasan yang jauh lebih ketat dari "mitigasi". Hasilnya, grafik peningkatan kasus Covid-19 menjadi jauh lebih landai, dan beban fasilitas kesehatan serta dampak ekonominya dapat teratasi.


Politik Global


Hal yang sama juga berlaku pada pandemi Covid-19 dalam konteks politik global. Pandemi ini bukanlah krisis global "biasa", melainkan krisis yang melahirkan penanda baru dalam politik global (Susanto, 2020). Istilah yang digunakan untuk menjelaskan hal ini adalah "periodisasi", yaitu suatu peristiwa besar dan penting yang mempengaruhi dinamika politik global dalam rentang waktu tertentu (Susanto, 2020; Green, 1992).


Sebagai sebuah tonggak baru, pandemi Covid-19 akan memberikan beberapa kemungkinan dalam dinamikan organisasi politik internasional. Meminjam konsepsi Suter (2008) dalam The Future of the Nation-State in an Era of Globalization, kemungkinan pertama adalah berkembangnya dinamika steady state. Hal ini berarti bahwa negara secara independen tetap menjalankan otoritas di dalam negeri tanpa bergantung pada kerjasama internasional maupun organisasi global.


Kedua, dinamika world state ditandai dengan menguatnya kerja sama global dan peran sentral dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun pada saat yang sama, negara memiliki kontrol terhadap nasib dan situasi nasional di tengah pandemi. Ketiga, bentuk earth inc. yang identik dengan menurunnya kapasitas negara dalam mengelola ekonomi di mana perusahaan multinasional mengisi kekosongan tersebut.


Keempat, dinamika wild state ketika negara dan perusahaan multinasional kehilangan otoritas dan kompetensinya sehingga meninggalkan kevakuman di level nasional maupun internasional.


Dalam konteks itu, negara-negara di dunia akan menghadapi dua dimensi dari pandemi Covid-19 untuk memastikan posisinya. Dimensi yang pertama adalah pandemi ini telah menarik sebagian kekuatan politik domestik ke dalam arus global interdependence. Dimensi yang kedua adalah pandemi Covid-19 telah menekan negara-negara ke arah domestikasi dengan kebijakan protektif.


Dengan memperhatikan kecenderungan tersebut, pilihan terbaik untuk diperjuangkan dalam penangan krisis ini adalah negara-negara tetap melaksanakan kedaulatannya dengan bersedia menyerahkan urusan-urusan tertentu pada pemerintahan global (world state). Preferensi ini memungkinkan negara-negara terselamatkan dari ancaman pandemi Covid-19 karena mendapat akses timbal balik secara internasional. Inilah letak krusial dari multilateralisme dan mutual-cooperation dalam penangan Covid-19.


Organisasi Internasional


Berdasarkan uraian di atas, tugas pengembangan resiliensi negara dalam menghadapi pandemi ini juga diemban oleh organisasi internasional. Sebab, pilihan terhadap bentuk world state memiliki original intense yang sama dengan organisasi internasional itu sendiri, yaitu untuk menyediakan hal-hal yang dibutuhkan bagi kerja sama global demi menghasilkan kebaikan bagi semua negara (Bennt, 2016).


Oleh sebab itu, bagi organisasi internasional, pandemi ini merupakan sebuah peluang untuk memberikan kontribusi yang lebih luas bagi kehidupan global. Tentu, fokus utamanya terletak pada penguatan resiliensi negara dengan mengacu pada tiga aspek tersebut. Pertama, aspek politik-kebijakan, organisasi internasional dapat mengoptimalkan fungsi instrumental-nya untuk mencapai tujuan politik penanggulangan Covid-19. Fungsi ini dimaksudkan untuk mengorganisir sumber daya yang ada pada pilihan prioritas.


Bentangan empiris menunjukkan bahwa konflik yang terjadi di berbagai negara dapat mereda sejenak akibat pandemi ini. Situasi tersebut menjadi kesempatan berbagai aktor internasional, termasuk organisasi internasional, untuk memberikan bantuan berupa suplai medis dan sejumlah informasi terkait penangan pandemi Covid-19. Pada saat yang sama, bantuan kemanusiaan tersebut bisa mencairkan kebekuan komunikasi antara pihak berkonflik demi menyusun agenda perdamaian. Peluang-peluang tersebut hanya dapat ditunaikan bila dilandasi semangat mutual-cooperation.


Kedua, penguatan dalam aspek edukasi sejalan dengan fungsi arena dari organisasi internasional. Fungsi ini memungkinkan setiap aktor internasional bertemu untuk mendiskusikan persoalan yang dihadapi bersama. Forum-forum berskala global tersebut, semisal G20 Summit maupun via agenda PBB, merupakan kesempatan bagi para anggotanya untuk memperoleh pandangan, informasi, kerjasama politik, maupun bantuan pendaan dalam penanganan pandemi ini.


Organisasi internasional perlu mengekstensifkan fungsi-fungsi semacam ini dalam masa krisis seperti sekarang. Khususnya dengan alasan, beberapa negara yang seharusnya memimpin inisiasi kerjasama global saat ini lebih memilih menarik diri. Apalagi di negara-negara tersebut kini tengah disibukkan oleh hiruk pikuk pemilu presiden. Sehingga fungsi untuk mengorganisir sumber daya dan forum global berada di tangan organisasi internasional.


Ketiga, berkaitan dengan hal tersebut, organisasi internasional juga memiliki fungsi sebagai aktor independen. Sehingga, mereka dapat bekerja pada sejumlah lapisan, mulai dari unsur masyarakat terendah, negara, korporasi swasta, maupun organisasi internasional lainnya. Kemampuan ini juga harus dimanfaatkan untuk menguatkan aspek ekonomi-produksi negara yang rentan. IMF, misalnya, dapat memberikan debt relief dan real time pendampingan pengelolaan ekonomi bagi negara terdampak. Atau FAO dapat memperkuat kerja sama dengan sektor swasta dalam memastikan kebutuhan pangan selama pandemi.


Apabila fungsi-fungsi ini berhasil diimplementasikan secara efektif, maka ketahanan negara dalam menghadapi pandemi Covid-19 akan menjadi lebih baik. Oleh sebab itu, pelajaran yang dapat diambil selama pandemi ini adalah (i) pentingnya pembangunan resiliensi negara, (ii) melalui kerja sama global dan world state, (iii) dan peluang bagi organisasi internasional untuk mengoptimalkan fungsinya. Sehingga, pandemi Covid-19 yang kita hadapi bersama, akan menghasilkan sebuah keberhasilan dan kebaikan bagi semua pihak.

Artikel Inspirasi Usaha Lainnya :

0 comments:

Post a Comment

Scroll to top